Jumat, Agustus 17, 2007

Meretas Idiologi Gerakan dalam Wilayah Publik

Dari keseluruhan konsep ilmu sosial ideologi adalah konsep yang paling kabur. Hal itu disebabkan karena ia mempersoalkan dasar dan validitas gagasan paling fundamental yang kita miliki. Pada dasarnya ia masih merupakan konsep yang diperdebatkan, yaitu konsep tentang definisi (dan karenanya juga tentang aplikasi) dari sesuatu yang mengalami kontroversi akut. (W.B. Gallie, dalam David McLellan, 2005)

Bila Francis Fukuyama mengatakan peradaban sekarang lebih merupakan gambaran akhir sebuah sejarah bagi pertentangan blok kapitalisme dan blok marxis. Dimana sejarah kehidupan bangsa-bangsa yang ada di dunia saat ini lebih dominan diwarnai kekuatan blok kapitalisme. Hal tersebut bisa kita lihat dari varibel-varibel yang ada hampir di sebagian besar negara di dunia saat ini. Dari tatanan politik hingga tatanan ekonomi adalah merupakan asupan dari blok kapitalisme. Adanya sebuah konsep pemerintahan yang menganut prinsip-prinsip demokrasi liberal, sistem ekonomi global yang cenderung diwarnai oleh ekonomi liberal, mendorong peradaban manusia secara tidak sadar menerima tatanan pergaulan yang digambarkan oleh Anthony Giddens sebagai sebuah truk besar yang berjalan tanpa kendali.

Kekuatan pasar menjadi “title” yang coba ditanamkan di alam bawah sadar manusia dalam peri kehidupan yang berlandaskan pada prinsip penumpukan kapital—kapitalisme. Kekuatan pasar merupakan kekuatan yang menggejala, kehadirannya bisa sangat ditakuti, dicurigai, namun sekaligus dibutuhkan. Sehingga kekuatannya mampu hadir tanpa melewati ruang kritis di banyak negara dan pemerintah. Pengaruh pasar menjadi semakin besar ketika arus globalisasi bergerak cepat dan semakin intensif yang dikampanyekan oleh negara-negara maju pendukung kubu kapitalisme dengan Amerika Serikat sebagai lokomotifnya. Dengan piranti lunak—berbagai konsep teoritis, perusahaan transnasional, gaya hidup, dan penemuan-penemuan tekhnologi—maupun piranti kerasnya (militer dan ekonomi) mereka mampu merebut kekuasaan historis peradaban dunia.

Revolusi ongkos murah yang ditawarkan kubu pendukung kapitalisme atau qoruniyyah, sebenarnya juga tidak lepas dari sorotan kritis bagi kaum Muhammadiyah seperti yang terungkap dalam pernyataan pikiran Muhammadiyah jelang satu abad (Zhawaahir al Afkaar al Muhammadiyyah ‘Abra Qarn min al Zamaan) ( Lihat di Tanfidz Keputusan Mukatamar Muhammadiyah Ke-45, Malang 2005), pandangan kritis tersebut melihat bahwa gelombang Neo-Liberalisme dengan wajah globalisasi hanya menimbulkan bentuk ketidakadilan baru, terutama di negara-negara dunia ketiga (seperti halnya Indonesia), dimana terjadi kooperasi antara negara—dalam hal ini pemaknaan elite pemerintahan secara luas—dengan para pemilik modal, yang memunculkan kekuatan-kekuatan baru borjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhua’afaa) dan tertindas (mustadh’afin), karena Neo-liberalisasi dari para qoruniyyah ini memiliki kecenderungan terhadap egoisme (ta’bid al nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al mawaad), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al syahawaat), dan dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al siyasiyyah), bila tidak melewati ruang kritis berpeluang mengaburkan tujuan hakiki dari setiap muslim, yakni khazanah fid dunyaa wal akhiraah sebagai manifest terhadap ikrar meniadakan sandaran, sesembahan, maupun pengabdian pada sesuatu apapun kecuali Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Tafsir Surat Al Balad sebagai Pondasi Idiologi Gerakan IMM di Ranah Publik
Kritik saya melalui tulisan ini terhadap sistem pemerintahan demokrasi liberal yang banyak dipraktekkan negara-negara berkembang adalah kekuatan agregasi kepentingan yang bertumpu hanya pada elit yang berada dalam partai-partai politik, sehingga mengalienasi kepentingan grass root (dalam hal ini rakyat sebagai mayoritas). Terlebih di Indonesia saat ini betapa variabel-variabel demokrasi hanya akan bergerak pada saat Pemilihan Umum, setelah massa Pemilu berlalu rakyat kembali pada ruang-ruang ketidakpastian, karena mengalami tuna kuasa layaknya seorang yatim yang tidak memiliki wali untuk memperjuangkan, melindungi, dan mengayomi segala kepentingannya. Secara teoritis terbukanya aspirasi dari berbagai elemen dalam suatu bangsa seperti yang terungkap tulisan Robert A. Dahl dalam “On Democracy” tidaklah berlaku di negara-negara berkembang, fakta yang banyak terjadi pasca agenda rutin ketatanegaraan, yakni PEMILU, menujukan sebuah gejala anomali dari teori-teori demokrasi. Aspirasi rakyat banyak dinegasikan oleh kekuatan-kekuatan elit politik dalam lembaga yang diatur dalam konstitusi—bila di Indonesia fenomena tersebut bisa kita lihat dari konfigurasi partai-partai di DPR hingga DPRD, bahkan lebih menggelikan, bisa kita lihat dari penempatan-penempatan wakil kader-kader partai sesuai dengan kekuatannya, baik di lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif, bukan terhadap capability dari person-person yang ada.

Dari fenomena yang saya kritisi di atas, saya tertarik anilisis dari Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (2001) dalam mengajukan sebuah deskripsi betapa kekuatan dari organisasi masyarakat, paguyuban, atau kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) di banyak negara Barat, mampu memberikan kontribusi positif bagi penataan peradaban yang lebih progresif. Wacana yang ingin sampaikan adalah bagaimana IMM sebagai sebuah organisasi mampu membalikan sebuah mainstream saat ini. Sebagai salah satu laboratorium idiologi Muhammadiyah, IMM haruslah mampu menerjemahkan pendialogkan wilayah epistemologi dengan wilayah metodologi agar munculah sebuah aksiologi yang tepat bagi peradaban ummat di wilayah NKRI. Sebuah gerakan independen—radikal harus lahir dari salah satu anak panah Sang Surya sebagai kekuatan penyeimbang ditengah kejumudan gerakan dakwah amar makruf nahiy munkar yang menurut saya terjebak pada ta’dib al siyasiyyah sehingga yang muncul adalah egoisme jamiyyah semata yang kering dari semangat mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Kader-kader IMM sebagai salah satu elemen kekuatan Muslim dari kalangan pemuda Persyarikatan Muhammadiyah harus mampu menjelma menjadi kader Bangsa hingga pantas pada tahap moksa menjadi kader Agama. Bukan terjebak menjadi kader kekuasaan semata, yang akhirnya lunturlah nilai-nilai hasil tempaan kawah candradimuka Persyarikatan, kekuatan untuk beramal secara materiil (raga, harta, serta intelektual) yang dibarengi kokohnya pondasi spiritul (ketundukan secara jiwa terhadap Allah Ta’ala) merupakan koridor gerak setiap kader.

Secara organisasi saat ini IMM harus tetap berada di jalur kultural dengan memainkan konsep high politics bukan menghimpitkan atau bahkan melebur dengan salah satu unsur kekuatan elit politik (partai politik), walaupun wacana tersebut tengah menggejala menjangkiti organ gerakan kepemudaan saat ini. Bukan berarti kita menjadi orang yang skeptis namun harus mampu menjadi sebuah jamiyyah yang siap menjalankan fungsi kontrol dan tempat Ijtihadi bagi penentuan sebuah gerak sejarah peradaban. Terlebih bila kita mengkaji kondisi saat ini jalur struktural yang secara teoritis menjadi sebuah harapan, malah tak ubahnya sebuah arena pembelajaran bagi kaum hiprokrit, seperti telah digambarkan pada surat al Munafiqun (Q.S. 63 : 1-6). Pengulangan sejarah despotisme kekuasaan sebetulnya telah di monumenkan dalam berbagai ayat Al Qur’an sebagai world view ummat manusia, salah satunya adalah surat al Balad (Q.S 90 : 1-20) yang saya ajukan saebagai salah satu pondasi Idilogi Gerakan IMM di Ranah Publik. Dalam Al Balad terkadung pokok-pokok : Manusia diciptakan Allah untuk berjuang menghadapi kesulitan; janganlah manusia terpedaya oleh kekuasaan dan harta benda yang banyak yang telah dibelanjakannya; beberapa peringatan kepada manusia atas beberapa nikmat yang telah diberikan Allah Swt. kepadanya dan bahwa Allah Swt. telah menunjukkan jalan-jalan yang akan menyampaikannya kepada kebahagiaan dan yang akan membawanya kepada kecelakaan. Dari ayat 1-9 kita bisa melihat sebuah peradaban Mekah pada saat itu, yang menurut penafsiran saya adalah contoh massa lalu peradaban yang memiliki corak yang sama dengan peradaban saat ini, kita mahfum betul penentangan terhadap Islam pada saat itu salah satunya bukan hanya, bahwa Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wassalam mengajarkan tentang pengenalan Asma Allah SWT. semata, namun bahwa Islam secara radikal melahirkan otokritik terhadap peradaban manusia yang liberatif-kapitalistik yang bercirikan pada empat penghambaan seperti analisa Kaum Muhammadiyah yang terlontar pada periode Muktamar di Malang. Pada ayat 10-16 merupakan arahan gerak yang harus diperjuangkan bagi peradaban yang bercorak liberatif-kapitalistik, yakni melakukan sebuah proses pemberdayaan ummat manusia untuk terlepas dari sifat ekplotatif antar manusia (homo homini lupus) dan memperbaiki taraf hidup—baik secara jasmani hingga ruhani. Serta menunjukan pada siapa perjuangan tersebut ditujukan, yakni pada orang-orang yang tuna kuasa (dlu’afa) dan terpinggirkan dari akses atas hak-hak mereka untuk menikmati kesejahteraan (mustadl’afin). Lalu pada ayat 17 adalah bagaimana cara memperkuat barisan dalam mengorganisir kekuatan dakwah, dan ayat 18-20 merupakan janji yang nyata bagi tiap-tiap golongan yang menempuh pada pada dua jalan yang dimaksud pada ayat 10. Wallahu ‘alam bish showab.


Baca Selanjut...