Kamis, Januari 17, 2008

Antara aku, AKU, dan Aku...

Berungkali aku sudah mencoba, untuk memejamkan mata hingga hampir dua hari aku terjaga di sudut kamarku ini yang mulai pengap, buku-buku beserakan, diatas kasur yang sedang ku rebahi, ada sekitar 9 buah buku yang hampir setengahnya sudah hampir tak berbentuk, karena tertindih-tindih badan ini. Badanku pun mulai protes karena tidak mendapat haknya untuk merasa capai untuk diajak bergerak secara leluasa menikmati bumi yang tak datar, menikmati langit yang telah dihamparkan, menikmati cahaya matahari yang telah dipancarkan kepenjuru bumi, menikmati udara pagi… yang semua telah dianugerahkan pada semua makhluk oleh Sang Pemilik ke-Maha-an.

Tiba-tiba saja ketika aku mengingat ke-Maha-an-Nya, sekan diri ini berada pada dimensi yang berbeda, terasa begitu saja, bahkan ada perasaan yang begitu menakjubkan. Tubuh ini tetap berada di alam nyata yang aku rasakan hingga umurku saat ini, terasa dari kasurku yang tipis, aroma kopi kering dari dua gelas yang telah aku minum, namun ada perasaan, aku sedang berada di antara ruang dan waktu yang lain secara bersamaan.



Aneh saja, semakin aku menyelidik keadaan ini, semakin aku merasa tegang, seakan mau menghadapi sebuah ujian, begitu gelisah, bahkan kenangan-kenangan hidupku seakan berloncatan dengan alur tak teratur, layaknya gambaran molekul benda yang dipanaskan, sedetik yang lalu aku begitu merindukan masa kecilku, semenit kemudian aku begitu lemah karena diriku mengutuki betapa bodohnya laku hidupku saat diriku melewati beberapa kesempatan kebaikan yang aku lewatkan, bahkan aku melakukan tindakan-tindakan ceroboh yang sebenarnya aku sadari itu sebuah kebodohan!

Kadang teringat orang-orang yang begitu berarti dalam perjalanan hidupku, kadang teringat orang-orang yang aku benci. Begitu terus berulang dengan alur yang tak terkendali, hingga hampir-hampir saja aku seakan tidak mengenali diriku sendiri, terasa asing seperti tak kuasa mengendalikan bagian-bagian tubuhku yang terbiasa aku ajak untuk pergi ke kampus, bergaul, atau bahkan berbuat sebuah dosa. Mungkin layaknya sebuah benda padat yang terkena hantaman bom atom, BYARR…!! Terurai menjadi partikel-partikel kecil yang terususun membentuk sebuah bayangan benda, begitu rapuh…

Hingga tak lama setelah aku merasa pada titik nol, muncul sesosok bayangan yang semakin mendekat dan nyata, bahkan semakin aku menyelidik ia begitu aku kenal, tak asing bagiku sosok itu. Ia melangkah mendekatiku, tabiatnya begitu gagah tapi membawa kewibawaan yang membuatku merasa begitu rendah menatapnya…
Sosok Aku Pertama, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Wahai Turunan Adam ‘Alaihi Salam, semoga kemuliaan dari-Nya tetap engkau peroleh”
Aku pun bergetar seakan aku tak percaya sedang menghadapi diriku sendiri, namun aku merasa ia berada diluar jangkauan ke-aku-anku saat ini…
Aku, “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh…”
Aku, “Maafkan atas kelemahan pengetahuanku akan dirimu, siapakah gerangan dirimu, bolehkah aku mengenalmu?”
Sosok Aku Pertama pun tersenyum…
Sosok Aku Pertama, “Tunggu, kita akan berbincang nanti, mungkin kau akan mengenalku lagi.”
Aku pun dibuat semakin tak mengerti, ada persaan bercampur aduk penuh pertanyaan, menerka-nerka. Terkadang aku begitu yakin akan sebuah jawaban tentang dia, tapi terkadang aku pun mengingkarinya…
Sosok Aku Pertama, “Tunggu sebentar anak cucu Adam As. jangan terburu-buru agar temanku, yang mungkin juga kau kenal datang untuk bergabung berbincang bersama kita, karena ia begitu susah memahamimu saat sebagian besar keinginan menguasaimu. Padahal aku ingin dia hadir, dan sekarang aku sedang menunggunya untuk kita saling berbincang.”
Aku pun berusaha untuk meredam keinginantahuku. Seakan sosok tersebut mengetahui usahaku.
Sosok Aku Pertama (sambil tersenyum lagi), “Begitu lebih baik bagi dirimu dan mungkin kita nantinya, ayo kita duduk dulu...”
Sejenak kemudian pandanganku beralih pada sesosok bayangan yang sangat samar aku lihat, namun perasaan begitu dekat seakan muncul dengan wajarnya, layaknya seorang yang telah memilki hubungan yang sangat khusus dengan seseorang, yang apabila orang tersebut akan datang, ataupun ia sedang berada dalam masalah dia pun merasakannya dalam istilah yang kita kenal sebuah firasat. Ia seakan ingin mencuri perhatianku pada situasi yang sedang aku hadapi, kadang seakan memanggilku untuk beranjak, lalu bila tidak berhasil ia seakan menyita perhatianku bak orang yang merengek untuk diajak bersamaku.
Sosok Aku Pertama (sambil tertawa), “Hahaha… kawan lama?”
Aku gugup mendengar tawa darinya, ingin menjawab, namun cepat ia timpali
Sosok Aku Pertama, “Ya pasti kau kenal ia, karena telah lama ia juga tumbuh bersama kita, bahkan lebih lama kau mengenal lingkungannya yang kekal pada nantinya, dibanding aku yang hanya mendapat pengilhaman tentang maha skenario kehidupan dari-Nya. Tundukan keinginanmu!”
Sosok Aku Pertama, “Berlindunglah dengan Kebesaran Asma Allah Swt. Dia-lah tempat bersandar yang hakiki, bagi setiap gerak dan diam seluruh jagad raya ini.”
Aku mulai merasa nyaman pada sosok yang sedang aku hadapi ini mulai terasa tidak asing lagi bagiku, perasaan gugup mulai memudar. Aku senang gaya ia tertawa yang seakan tidak mengejekku, bahkan terkaan-terkaannya yang seakan ingin memberitahuku namun tak ingin menggurui, sasmitanya menunjukkan kewibawaan layaknya figur yang memiliki pemahaman yang luas, terkesan gagah namun tak angkuh. Seakan telah merasa mampu mengendalikanku ia mengajakku kembali untuk duduk bersamanya.
Sosok Aku Pertama, “Ayo kita duduk wahai saudaraku…”
Sekejap kemudian dalam ruangan telah tersedia tiga kursi dan sebuah meja persegi panjang yang sangat mewah layaknya sebuah meja rapat diperusahaan-perusahaan terkemuka, yang aku lihat di televisi. Aku dipersilahkan duduk berada di satu kursi, yang diletakkan tersendiri, sementara ia melangkah ke kursi yang disampingnya terletak sebuah kursi juga. Keraguan dan kegugupanku mulai hilang, aku mulai terbiasa saat ini tak muncul keingintahuanku yang begitu kuat lagi, ada, namun lekas sirna. Tak lama setelah kita duduk saling berhadapan, ia pun menoleh kebelakang.
Sosok aku pertama, “ Itu ia datang!”
Aku terhenyak dari suasana yang mulai terbiasa denganku, aku melihat sesosok lagi yang aku merasa, aku kenal juga, namun terasa asing bagiku, ia seperti kami, maksudku seperti aku dan juga aku yang pertama datang kepada aku, namun aku merasa dia bukan aku ah… entah lah! terlalu lelah bagiku untuk menerka-nerka lagi. Ia pun berjabat tangan dengan sosok aku, eh.. maksudku yang sama denganku, yang pertama, mengucap salam sambil berpelukan dan saling menempelkan sisi pipi mereka kanan-kiri bergantian, suasana yang begitu hangat itu membuatku semakin terasing lagi dalam ruangan ini. Persaan gugup muncul kembali. Seperti tersadar sosok aku yang baru datang pun buru-buru mengucap salam bagiku sambil tersenyum, dan akupun membalasnya. Sosok yang baru datang ini seakan memiliki aura cahaya yang sangat terang, cerah, sekaligus mendamaikan bagiku yang memandangnya.
Sosok aku kedua, “Aku telah lama berada disana sebenarnya hingga menunggu kesempatan untuk bergabung dengan kalian.”
Aku tak mengerti dengan kata “kesempatan” yang dia maksud.
Sosok aku kedua, “Saat engkau sedang mengalami kekosongan layaknya sebuah gedung yang habis terbakar, aku mencoba berdialog dengan ia ini untuk berbincang denganmu, awalnya ia menolak, namun aku berusaha terus membujuknya yang akhirnya dia ku coba yakinkan dengan berkata “Mungkin kau pun harus berusaha membantunya, karena dengan membantunya kau akan kembali berada pada posisimu yang telah dimuliakan-Nya, yakni sebagai pemandu pada jalan yang harus ditempuh, bukan sekedar menjadi pembenar, layaknya seorang staff ahli yang memiliki kecerdasan dibanding pemipinnya, namun ia hanya mencarikan jalan keluar, dengan berbagai alasan pembenar yang ia tahu itu bukan solusi terbaiknya, namun karena keinginan yang dipaksakan oleh pemimpinya. Apakah kau hanya ingin menjadi budak? Padahal kau juga diberi wewenang sebagai pemimpin? Hingga ia pun menyetujui untuk kita bertemu saat ini.”
Begitu lemah lembut tutur katanya saat menjelaskan awal dari rencana pertemuan ini, bahkan sosok pertama yang aku temui begitu menaruh perhatiannya kepada ia. Tabiat gagah nan wibawa seakan meredup bila berhadapan dengannya. Ia membuatku merasa nyaman kembali, hingga ia pun mengajak kita untuk duduk kembali.
Aku, “Ooh… berarti anda yang mengatur semua ini?, bahkan anda juga yang membawa aku berada pada tempat yang bagiku menakjubkan ini?”
Sosok aku kedua,”Aku yang mempunyai ide ini, namun segala sesuatunya ia yang mempersiapkan, tentunya atas kehendak Yang Maha Kuasa.”
Sungguh aku takjub akan aura yang terpancar pada sosok yang kedua ini.
Sosok aku kedua, “Mungkin ada baiknya kita mulai perbincangan kita.”
Namun sosok kedua seakan terganggu dengan polah dari sesosok bayangan di ujung sana, yang memang juga banyak menyita perhatianku, karena seakan dia semakin gusar dan hiper aktif ketika sosok kedua hadir saat ini.
(seakan tanggap dengan kegusaran sosok aku kedua) Sosok aku pertama menandaskan, “Sekarang semua tergantung pada dirimu akan keberlanjutan pertemuan ini!?”
Lalu akupun terhenyak mendengar nada bicara sosok pertama tersebut, karena memang sedari tadi aku juga mencuri perhatian pada sesosok bayangan yang ada di ujung sana.
Aku, “Baiklah, mungkin kita bisa mulai perbincangan kita.”
Sosok aku kedua, “Baik… memang lebih baik kita konsentrasi pada pertemuan kita ini karena ini kesempatan yang sangat berharga bagi kita semua. Wahai engkau makhluk yang telah dimuliakan, kami merasa terusik dengan keadaanmu akhir-akhir ini, karena kita sebenarnya tumbuh berkembang bersama di atas bumi Alla Ta’ala ini. Kami menyadari keadaanmu adalah cerminan kinerja kita juga, namun sungguh maafkan kami bila kami lancang, adalah engkau yang terlalu asyik dengan segala keinginanmu hingga engkau lupakan kami.”
Aku, “Tunggu… tunggu… apa maksud semua ini? aku merasa kalian ingin mehakimiku!”
Sosok aku kedua,”Bukan… bukan..”
Sosok aku pertama (dengan nada yang meninggi menimpali), “Hey… tundukan keangkuhanmu! dengarkan ia berbicara dahulu.”
Aku, “Siapa yang angkuh? Aku punya hak untuk mengekspresikan apa yang ada dalam benakku seperti halnya kamu, bukan?”
Sosok aku kedua, “Sungguh tak pantas kita saling meninggikan diri kita, apakah kalian telah merasa pantas, meninggikan diri kalian di hadapan-Nya?”
Kami pun terdiam tak berani menjawab pertanyaan tersebut.
Sosok aku pertama, “Wahai engkau jiwa yang gelisah! Jangan kau hinakan dirimu dengan kebodohanmu, padahal engkau telah diberi sebagian kelebihan sebagai anak turun Adam As. bahkan engkau telah berikrar termasuk pada golongan yang di takdirkan mendapat keselamatan, atas petunjuk yang sempurna, yang dibawa oleh Kekasih Allah Swt. figur generasi penerus orang-orang saleh yang mengajak pada kebaikan dan menolak segala kemungkaran, Muhammad Saw. bersholawatlah atasnya agar kau tersadar!”
Aku, “Jangan ajari aku tentang hal itu!”
Sosok aku pertama,”Tundukan dirimu! Ingatkah siapa engkau ini sebelumnya? Tak lebih dari sesuatu yang harus merasakan panasnya api segala api di dunia yang fana’ ini, atas Kekuasaan-Nya!”
Sosok aku kedua, “Wahai muslim, adakah kau masih bertanya akan semua ini? Apakah engkau tidak pernah mencoba mengenal dirimu lebih dalam dan benar? Padahal pengilhaman atas dirimu sudah terjadi sebelum engkau terlahir ke dunia, mungkin kau terlupa akan semua hal itu, dan aku sering menyapamu namun kau seakan tak peduli.”
Sosok aku pertama, “Ya! Bahkan kau mencoba memperbudak aku dengan segala keinginanmu, jangan kau kira aku menjadi penurut bagimu, aku hanya menikmati kelalaianmu dengan memberikan segala alasan pembenar segala tindakanmu!”
Sosok aku kedua, “Sungguh janganlah segala keinginanmu menjadikan adanya tabir bagi kerjasama kita dalam meraih kemuliaan yang telah digariskan kepada kita, engkau seringkali keras berkuasa atas ia, bahkan tak jarang engkau merendahkan dirimu dengan merengek kepadanya untuk membela keinginanmu akan sesuatu, padahal engkau sadar itu sebuah kebodohan bagimu dengan mengingkari dalil-dalil yang nyata dihadapanmu, sedang engkau tahu ayat-ayat-Nya terhampar luas bagimu, tertulis maupun tidak tertulis. Kau sering mengajak ia menfasirkan segala sesuatu sekehendakmu, seakan kau berhak merubah larikan ayat-ayat-Nya.”
Aku, “Ya… ya… aku mulai ingat siapa kalian, aku adalah kalian ini, atau kalian adalah aku, atau… Begini..! (sambil kutunjukan jari telunjuku, secara bergantian pada diriku, sosok aku yang pertama, sosok aku yang kedua) aku, aku, dan aku jadi AKU? Kalau betul begitu, aku kembali bertanya pada aku (kutunjukan jariku pada sosok aku yang kedua), kenapa engkau tak mencoba mencegahnya bersekongkol denganku? Dan kau biarkan aku menjadi sangat tak terkendali oleh aku dan aku atau kalian ini?”
Sosok aku kedua, “Ya mungkin kita bisa saling mengoreksi tentang hubungan kita selama ini, betul…, mungkin aku tak berdaya ketika kau berusaha memperalat ia (sambil menunjuk kepada sosok aku pertama), kau tak henti-hentinya menyanjungnya sebagai sandaran atas keinginanmu hingga ia pun lalai karenanya. Astaghfirullahal ‘adziim… Namun maaf beribu maaf, selama ini sangat jarang sekali kita berkomunikasi, aku sering menyapamu untuk saling menginagtakan diantara kita, namun aku mengira engkau begitu merasa mampu atas konsep AKU ini .”
Sosok aku pertama, “Baiklah, mungkin aku juga seharusnya mampu menjadi bagian dari kita ini, bolehkah aku meminta kepadamu?” (sambil mengharahkan pandangan kepadaku, lalu ia melanjutkan perkataannya). Aku memang salah sungguh aku di firmankan sebagai salah satu piranti pada makhluk yang kita kenal sebagai AKU selama ini, namun sungguh aku menjadi tak berdaya guna ketika peranku, hanya sebatas menjadi pembenar saja, selama ini aku merasa tidak pernah diajak untuk berkontamplasi denganmu (menunjuk kerahku), bahkan semakin kau jauhkan hubunganku dengannya (sambil mengarahakan pandangan kepada sosok aku kedua). Padahal dia merupakan salah satu piranti, yang diibaratkan sebuah charger bagi kita berdua. Kau bikin ia sebagi kamuflase ketika engkau lemah bukan?”
Bergetar aku saat itu seakan aku merasa baru mengenaliku, setelah melewati perjalanan masa yang menurut manusia dikenal dengan kata dewasa, namun, kali ini seakan aku terlahir dalam bentuk yang sama sekali baru… Air matapun mulai menitik deras, merasa menjadi sebuah konsepsi yang gagal.
Aku, “Subhanallah… Sungguh aku merasa tak kuasa atas diriku selama ini! Aku seakan telah merasa begitu paham konsep AKU, namun sebenarnya selama ini aku sama sekali tak mengenalku, ijinkan aku memperbaikinya, ijinkan aku….. Ya Rabb, begitu besar Kuasa-Mu atas segala hal…! Begitu besar Kuasa-MU atas segala hal! Tiada daya dan kuasa yang menanding-Mu…!
Saat itu Sosok aku pertama dan kedua beranjak dari kursinya dan mengecup ubun-ubunku bergantian. Seraya berkata, “Semoga Allah merahmatiku, dan menetapkan pentunjuk yang lurus bagiku…” aku hanya pun lirih menjawab, “Amiin, amiin ya Rabbal’alamiin…”
Sekejap saja aku tersadar, bahwa aku telah berada pada diemnsi ruang dan wakltu yang aku kenal selama ini, ya! Aku telah kemabali dikamar yang aku buat sebagai “ruang isolasi”ku. Terdengar suara adazan Hayya ‘alash sholah 2X… Hayya ‘alal falah 2X…Allahu Akbar 2X… Laa ilaaha ilallah… dalam tangis lirih nuraniku berkata “Ya Rabb ampuni aku ini, yang telah angkuh, jangan Kau palingkan Wajah-Mu terhadpaku yang hina dan lemah ini…, dan akalku mengajaku beranjak untuk bangkit dari tempat tidur untuk bersuci menyambut seruan-Nya. Namun, anehya akupun merasa enggan setelah sayup kata-kata kenagkuhan berhembus padaku, sura bisikan itu aku mengenalnya, ya aku kenal pasti, suara tersebut dari sesosok bayangan yang disudut dimensi yag baru saja aku singgahi, lalu segera akalku “seakan berkata, ingat ada yang lebih kuasa atas dirimu, tanyakan itu pada nuranimu!” tanpa ragu aku pun bergegas bangkit, aku mandi, wudlu, lalu sholat.
Saat aku berniat dalam hati untuk menghadapkan diri ini, ada perasaan tak layak aku menghadap-Nya seakan hina-dinya pribadi ini, namun, hatiku berkata, “jangan kau ragu atas begitu besar cinta-Nya…,” lalu akalku beseru, “cepat angkat tanganmu! Bertakbilah!Bertakbirlah! Serahkan dirimu yang lemah terhadap kuasa-Nya!” aku angkat tanganku semantap mungkin, kurapatkan emapat jariku, kecuali ibu jariku yag ujungnya kusentuhkan pada telingaku, Allahu Akbar!........................ Diujung do’aku,” Yaa Rabbana… kuatkan aku yang lemah ini, ampuni aku yang hina karena kebodohan dan keangkuhan ini, ijinkan aku berangkat dijalan-Mu, agar aku mampu persembahkan raga dan jiwaku…

Baca Selanjut...