Minggu, Maret 02, 2008

Kelaparan, Ibu Hamil dan Anaknya Tewas

01/03/2008 18:14 Kasus Kelaparan Sumber : http://www.liputan6.com/daerah/?id=155623 Liputan6.com, Makassar: Besse yang tengah hamil tujuh bulan bersama Bahir (lima tahun), anaknya, Sabtu (1/3), meninggal setelah menderita kelaparan akibat tiga hari tidak makan. Sedangkan Sari dan Aco, dua anak korban yang lain, masih bisa diselamatkan. Belum ada pernyataan secara medis yang menjelaskan warga Jalan Daeng Tata I itu meninggal akibat kelaparan. Namun keterangan Aisyah, tetangga Besse, menguatkan kondisi ekonomi keluarga Basri, suami korban yang berprosesi sebagai tukang becak, memang sangat memprihatikan. Sebab untuk makan saja mereka terkadang harus meminta kepada tetangga. Kusuma Wardani, ahli gizi Dinas Kesehatan Makassar, mengakui tewasnya Besse serta anaknya karena kelaparan sebagai preseden buruk. "Masalah kelaparan ini bukan hanya departemen kesehatan saja yang menanganinya, tetapi ada beberapa instansi terkait," kata dia. Yang pasti, kondisi ini sangat ironis dengan predikat Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan Syamsu Rizal, anggota DPRD Kota Makassar yang menangani masalah kesejahteraan masyarakat, geram mendengar ada warga Makassar yang meninggal akibat kekurangan pangan. "Ini sebagai kejadian memalukan yang menjadi tamparan bagi pemerintah kota dan seluruh masyarakat Kota Makassar," tutur dia. Syamsu menuding kasus ini diakibatkan tidak adanya koordinasi dari instansi-instansi yang menangani kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, dia bertekad akan segera membawa masalah ini ke rapat dewan. Sementara itu, jenazah Besse dan Bahir hari ini telah dipulangka ke kampung halamannya di Kabupaten Bantaeng untuk dimakamkan.(BOG/Iwan Taruna dan Rizal Randa)

Inna lillaahi wa inna ilaaihi roji'un... Selamat jalan Saudaraku Seiman dan Sebangsa, sungguh kini engkau telah benar-benar merdeka, semoga engkau berpulang dalam peluk Kasih dan Sayang-Nya... Kepergianmu adalah tamparan keras bagi kita yang masih hidup! Uraian bulir-bulir air mataku tak kan mampu membasuh kepedihan, kegetiran, dan kesakitan yang mengiring kepergianmu... Andai kau sempat, bisikan pesan dari langit untukku apa yang harus aku perbuat, agar tak lagi saudara-saudara kita mengalami nasib yang sama denganmu... Maaf sedikit ngerepoti titip pesan juga adukan saja siapa-siapa yang harus bertanggung jawab atas deritamu pada Sang Maha Pengadil...

Ironis memang di negeri yang dulu kita bangun dengan citra gemah lipah loh jinawi, murah senyum, gotong royong, ramah tamah... Namun ternyata benar lirik Slank itu semua InDoNeSia (Indah sekali/Dongeng tidurku/Nenek-nenek yang bercerita/Siapa-pun percaya). Ya..! Semua telah menjadi mitos, tamparan keras bagi kita yang masih punya nurani, bukan lagi harap bagi segelintir orang yang duduk-duduk kayak di Istana Negara RI, maupun di gedung lambang cabul di Senayan (MPR dan DPR), atau secara luas elit bangsa ini! Mahasiswa, Dosen, Kyai, Ustadz tentunya juga termasuk sebagai orang yang bertanngung jawab atas permasalahan ini, kalau sampai mereka berdalih untuk merasa tidak bertanggung jawab, tentu jelas, bahwa amanat kemanusiaan kita sebagai pemimpin di muka bumi ini, akan mendapat gugatan menurut saya. Apa yang salah? jelas banyak sekali, tinggal kita mau lihat dari sisi mana, dan mau benar-benar jujur terhadap kondisi bangsa yang kian hari terasa menyesakan nurani. Kemerdekaan kita sebagai bangsa rupanya tidak benar-benar berarti, ketika jati diri kita terenggut oleh kekuatan serba modal yang merasuk hingga tataran budaya, politik, agama, tentunya jelas ekonomi. Negara kita tak lagi memiliki orientasi yang jelas terhadap masa depannya, ketika para pemimpin lebih suka melayani kaum pemodal atau sebagian orang berduit negeri ini, generasi mudanya lebih suka buang-buang duit buat sesuatu yang tak jelas hanya karena mengikuti trend yang tak jelas asal muasalnya, para pemikirnya takut periuk nasinya pecah, para pemuka agamanya takut jama'ahnya kabur karena minimnya kemudahaan dari pemodal dan pemerintah, partai?!ah... yang satu ini (ntah yang nagaku berazas Islam atau yang nasionalis, atau yang religius-nasionalis-terbuka==> saya pikir sama saja!) mereka lebih senang rapat terkait masalah-masalah modal! lihat saja data di Republika, ataupun bandingkan seberapa cepat RUU yang di belakangnya menyangkut modal/uang pasti cepat jadi UU! Kebijakan pangan kita sungguh memprihatinkan, berapa kali pemerintah kelabakan di terjang permainan kotor masalah sembako, yang lebih membuat saya sebagai orang yang Alhamdulillah masih mengimani kekuasaan tuhan, prihatin dan ingin mengamuk, adalah ketika semua permasalahan bangsa ini ditimpakan pada kondisi alam, yang logika mudah saya ini konyol bagi kita yang punya akal bukan? apalagi ujung-ujungnya permasalahan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat kecil di tenderkan pada para tengkulak besar negara kita, ini menunjukan elit pemerintah kita (eksekutif dan legislatif) tidak mau ribet mengurusi rakyatnya. Bangsa ini juga terlanjur sakit! karena gempuran budaya tak kenal lagi etik moral begitu masif di propagandakan, akhirnya bangsa ini mengalami ketercerabutan akar budayanya sebagai Bangsa Timur. Harus ada titik pembalikan terhadap ini semua, terutama bagi generasi muda bangsa kita, untuk lebih percaya diri sebagai orang yang telah merasakan mandi dengan sinar matahari tropis, minum air bumi nusantara, dan makan dari sari pati tanah Merah Putih. Harus tetap bergerak membenahi segala persoalan yang melingkupi kita sebagai bangsa Indonesia, bukan malah terjebak pada gaya hidup hyperrealitas, apalagi bagi para intelektualnya jangan menjadi pelacur-pelacur di partai! Sebuah pertanyaan renungan saja :
- Masihkah kita bergairah menyambut pesta hura-hura kaum hiprokrit PEMILU 2009? kalau ya siapkah anda untuk meruabah kondisi?
- Masihkah kita arogan dengan ke-Aku-an dan ke-Kita-an?

Baca Selanjut...

Kamis, Januari 17, 2008

Antara aku, AKU, dan Aku...

Berungkali aku sudah mencoba, untuk memejamkan mata hingga hampir dua hari aku terjaga di sudut kamarku ini yang mulai pengap, buku-buku beserakan, diatas kasur yang sedang ku rebahi, ada sekitar 9 buah buku yang hampir setengahnya sudah hampir tak berbentuk, karena tertindih-tindih badan ini. Badanku pun mulai protes karena tidak mendapat haknya untuk merasa capai untuk diajak bergerak secara leluasa menikmati bumi yang tak datar, menikmati langit yang telah dihamparkan, menikmati cahaya matahari yang telah dipancarkan kepenjuru bumi, menikmati udara pagi… yang semua telah dianugerahkan pada semua makhluk oleh Sang Pemilik ke-Maha-an.

Tiba-tiba saja ketika aku mengingat ke-Maha-an-Nya, sekan diri ini berada pada dimensi yang berbeda, terasa begitu saja, bahkan ada perasaan yang begitu menakjubkan. Tubuh ini tetap berada di alam nyata yang aku rasakan hingga umurku saat ini, terasa dari kasurku yang tipis, aroma kopi kering dari dua gelas yang telah aku minum, namun ada perasaan, aku sedang berada di antara ruang dan waktu yang lain secara bersamaan.



Aneh saja, semakin aku menyelidik keadaan ini, semakin aku merasa tegang, seakan mau menghadapi sebuah ujian, begitu gelisah, bahkan kenangan-kenangan hidupku seakan berloncatan dengan alur tak teratur, layaknya gambaran molekul benda yang dipanaskan, sedetik yang lalu aku begitu merindukan masa kecilku, semenit kemudian aku begitu lemah karena diriku mengutuki betapa bodohnya laku hidupku saat diriku melewati beberapa kesempatan kebaikan yang aku lewatkan, bahkan aku melakukan tindakan-tindakan ceroboh yang sebenarnya aku sadari itu sebuah kebodohan!

Kadang teringat orang-orang yang begitu berarti dalam perjalanan hidupku, kadang teringat orang-orang yang aku benci. Begitu terus berulang dengan alur yang tak terkendali, hingga hampir-hampir saja aku seakan tidak mengenali diriku sendiri, terasa asing seperti tak kuasa mengendalikan bagian-bagian tubuhku yang terbiasa aku ajak untuk pergi ke kampus, bergaul, atau bahkan berbuat sebuah dosa. Mungkin layaknya sebuah benda padat yang terkena hantaman bom atom, BYARR…!! Terurai menjadi partikel-partikel kecil yang terususun membentuk sebuah bayangan benda, begitu rapuh…

Hingga tak lama setelah aku merasa pada titik nol, muncul sesosok bayangan yang semakin mendekat dan nyata, bahkan semakin aku menyelidik ia begitu aku kenal, tak asing bagiku sosok itu. Ia melangkah mendekatiku, tabiatnya begitu gagah tapi membawa kewibawaan yang membuatku merasa begitu rendah menatapnya…
Sosok Aku Pertama, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Wahai Turunan Adam ‘Alaihi Salam, semoga kemuliaan dari-Nya tetap engkau peroleh”
Aku pun bergetar seakan aku tak percaya sedang menghadapi diriku sendiri, namun aku merasa ia berada diluar jangkauan ke-aku-anku saat ini…
Aku, “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh…”
Aku, “Maafkan atas kelemahan pengetahuanku akan dirimu, siapakah gerangan dirimu, bolehkah aku mengenalmu?”
Sosok Aku Pertama pun tersenyum…
Sosok Aku Pertama, “Tunggu, kita akan berbincang nanti, mungkin kau akan mengenalku lagi.”
Aku pun dibuat semakin tak mengerti, ada persaan bercampur aduk penuh pertanyaan, menerka-nerka. Terkadang aku begitu yakin akan sebuah jawaban tentang dia, tapi terkadang aku pun mengingkarinya…
Sosok Aku Pertama, “Tunggu sebentar anak cucu Adam As. jangan terburu-buru agar temanku, yang mungkin juga kau kenal datang untuk bergabung berbincang bersama kita, karena ia begitu susah memahamimu saat sebagian besar keinginan menguasaimu. Padahal aku ingin dia hadir, dan sekarang aku sedang menunggunya untuk kita saling berbincang.”
Aku pun berusaha untuk meredam keinginantahuku. Seakan sosok tersebut mengetahui usahaku.
Sosok Aku Pertama (sambil tersenyum lagi), “Begitu lebih baik bagi dirimu dan mungkin kita nantinya, ayo kita duduk dulu...”
Sejenak kemudian pandanganku beralih pada sesosok bayangan yang sangat samar aku lihat, namun perasaan begitu dekat seakan muncul dengan wajarnya, layaknya seorang yang telah memilki hubungan yang sangat khusus dengan seseorang, yang apabila orang tersebut akan datang, ataupun ia sedang berada dalam masalah dia pun merasakannya dalam istilah yang kita kenal sebuah firasat. Ia seakan ingin mencuri perhatianku pada situasi yang sedang aku hadapi, kadang seakan memanggilku untuk beranjak, lalu bila tidak berhasil ia seakan menyita perhatianku bak orang yang merengek untuk diajak bersamaku.
Sosok Aku Pertama (sambil tertawa), “Hahaha… kawan lama?”
Aku gugup mendengar tawa darinya, ingin menjawab, namun cepat ia timpali
Sosok Aku Pertama, “Ya pasti kau kenal ia, karena telah lama ia juga tumbuh bersama kita, bahkan lebih lama kau mengenal lingkungannya yang kekal pada nantinya, dibanding aku yang hanya mendapat pengilhaman tentang maha skenario kehidupan dari-Nya. Tundukan keinginanmu!”
Sosok Aku Pertama, “Berlindunglah dengan Kebesaran Asma Allah Swt. Dia-lah tempat bersandar yang hakiki, bagi setiap gerak dan diam seluruh jagad raya ini.”
Aku mulai merasa nyaman pada sosok yang sedang aku hadapi ini mulai terasa tidak asing lagi bagiku, perasaan gugup mulai memudar. Aku senang gaya ia tertawa yang seakan tidak mengejekku, bahkan terkaan-terkaannya yang seakan ingin memberitahuku namun tak ingin menggurui, sasmitanya menunjukkan kewibawaan layaknya figur yang memiliki pemahaman yang luas, terkesan gagah namun tak angkuh. Seakan telah merasa mampu mengendalikanku ia mengajakku kembali untuk duduk bersamanya.
Sosok Aku Pertama, “Ayo kita duduk wahai saudaraku…”
Sekejap kemudian dalam ruangan telah tersedia tiga kursi dan sebuah meja persegi panjang yang sangat mewah layaknya sebuah meja rapat diperusahaan-perusahaan terkemuka, yang aku lihat di televisi. Aku dipersilahkan duduk berada di satu kursi, yang diletakkan tersendiri, sementara ia melangkah ke kursi yang disampingnya terletak sebuah kursi juga. Keraguan dan kegugupanku mulai hilang, aku mulai terbiasa saat ini tak muncul keingintahuanku yang begitu kuat lagi, ada, namun lekas sirna. Tak lama setelah kita duduk saling berhadapan, ia pun menoleh kebelakang.
Sosok aku pertama, “ Itu ia datang!”
Aku terhenyak dari suasana yang mulai terbiasa denganku, aku melihat sesosok lagi yang aku merasa, aku kenal juga, namun terasa asing bagiku, ia seperti kami, maksudku seperti aku dan juga aku yang pertama datang kepada aku, namun aku merasa dia bukan aku ah… entah lah! terlalu lelah bagiku untuk menerka-nerka lagi. Ia pun berjabat tangan dengan sosok aku, eh.. maksudku yang sama denganku, yang pertama, mengucap salam sambil berpelukan dan saling menempelkan sisi pipi mereka kanan-kiri bergantian, suasana yang begitu hangat itu membuatku semakin terasing lagi dalam ruangan ini. Persaan gugup muncul kembali. Seperti tersadar sosok aku yang baru datang pun buru-buru mengucap salam bagiku sambil tersenyum, dan akupun membalasnya. Sosok yang baru datang ini seakan memiliki aura cahaya yang sangat terang, cerah, sekaligus mendamaikan bagiku yang memandangnya.
Sosok aku kedua, “Aku telah lama berada disana sebenarnya hingga menunggu kesempatan untuk bergabung dengan kalian.”
Aku tak mengerti dengan kata “kesempatan” yang dia maksud.
Sosok aku kedua, “Saat engkau sedang mengalami kekosongan layaknya sebuah gedung yang habis terbakar, aku mencoba berdialog dengan ia ini untuk berbincang denganmu, awalnya ia menolak, namun aku berusaha terus membujuknya yang akhirnya dia ku coba yakinkan dengan berkata “Mungkin kau pun harus berusaha membantunya, karena dengan membantunya kau akan kembali berada pada posisimu yang telah dimuliakan-Nya, yakni sebagai pemandu pada jalan yang harus ditempuh, bukan sekedar menjadi pembenar, layaknya seorang staff ahli yang memiliki kecerdasan dibanding pemipinnya, namun ia hanya mencarikan jalan keluar, dengan berbagai alasan pembenar yang ia tahu itu bukan solusi terbaiknya, namun karena keinginan yang dipaksakan oleh pemimpinya. Apakah kau hanya ingin menjadi budak? Padahal kau juga diberi wewenang sebagai pemimpin? Hingga ia pun menyetujui untuk kita bertemu saat ini.”
Begitu lemah lembut tutur katanya saat menjelaskan awal dari rencana pertemuan ini, bahkan sosok pertama yang aku temui begitu menaruh perhatiannya kepada ia. Tabiat gagah nan wibawa seakan meredup bila berhadapan dengannya. Ia membuatku merasa nyaman kembali, hingga ia pun mengajak kita untuk duduk kembali.
Aku, “Ooh… berarti anda yang mengatur semua ini?, bahkan anda juga yang membawa aku berada pada tempat yang bagiku menakjubkan ini?”
Sosok aku kedua,”Aku yang mempunyai ide ini, namun segala sesuatunya ia yang mempersiapkan, tentunya atas kehendak Yang Maha Kuasa.”
Sungguh aku takjub akan aura yang terpancar pada sosok yang kedua ini.
Sosok aku kedua, “Mungkin ada baiknya kita mulai perbincangan kita.”
Namun sosok kedua seakan terganggu dengan polah dari sesosok bayangan di ujung sana, yang memang juga banyak menyita perhatianku, karena seakan dia semakin gusar dan hiper aktif ketika sosok kedua hadir saat ini.
(seakan tanggap dengan kegusaran sosok aku kedua) Sosok aku pertama menandaskan, “Sekarang semua tergantung pada dirimu akan keberlanjutan pertemuan ini!?”
Lalu akupun terhenyak mendengar nada bicara sosok pertama tersebut, karena memang sedari tadi aku juga mencuri perhatian pada sesosok bayangan yang ada di ujung sana.
Aku, “Baiklah, mungkin kita bisa mulai perbincangan kita.”
Sosok aku kedua, “Baik… memang lebih baik kita konsentrasi pada pertemuan kita ini karena ini kesempatan yang sangat berharga bagi kita semua. Wahai engkau makhluk yang telah dimuliakan, kami merasa terusik dengan keadaanmu akhir-akhir ini, karena kita sebenarnya tumbuh berkembang bersama di atas bumi Alla Ta’ala ini. Kami menyadari keadaanmu adalah cerminan kinerja kita juga, namun sungguh maafkan kami bila kami lancang, adalah engkau yang terlalu asyik dengan segala keinginanmu hingga engkau lupakan kami.”
Aku, “Tunggu… tunggu… apa maksud semua ini? aku merasa kalian ingin mehakimiku!”
Sosok aku kedua,”Bukan… bukan..”
Sosok aku pertama (dengan nada yang meninggi menimpali), “Hey… tundukan keangkuhanmu! dengarkan ia berbicara dahulu.”
Aku, “Siapa yang angkuh? Aku punya hak untuk mengekspresikan apa yang ada dalam benakku seperti halnya kamu, bukan?”
Sosok aku kedua, “Sungguh tak pantas kita saling meninggikan diri kita, apakah kalian telah merasa pantas, meninggikan diri kalian di hadapan-Nya?”
Kami pun terdiam tak berani menjawab pertanyaan tersebut.
Sosok aku pertama, “Wahai engkau jiwa yang gelisah! Jangan kau hinakan dirimu dengan kebodohanmu, padahal engkau telah diberi sebagian kelebihan sebagai anak turun Adam As. bahkan engkau telah berikrar termasuk pada golongan yang di takdirkan mendapat keselamatan, atas petunjuk yang sempurna, yang dibawa oleh Kekasih Allah Swt. figur generasi penerus orang-orang saleh yang mengajak pada kebaikan dan menolak segala kemungkaran, Muhammad Saw. bersholawatlah atasnya agar kau tersadar!”
Aku, “Jangan ajari aku tentang hal itu!”
Sosok aku pertama,”Tundukan dirimu! Ingatkah siapa engkau ini sebelumnya? Tak lebih dari sesuatu yang harus merasakan panasnya api segala api di dunia yang fana’ ini, atas Kekuasaan-Nya!”
Sosok aku kedua, “Wahai muslim, adakah kau masih bertanya akan semua ini? Apakah engkau tidak pernah mencoba mengenal dirimu lebih dalam dan benar? Padahal pengilhaman atas dirimu sudah terjadi sebelum engkau terlahir ke dunia, mungkin kau terlupa akan semua hal itu, dan aku sering menyapamu namun kau seakan tak peduli.”
Sosok aku pertama, “Ya! Bahkan kau mencoba memperbudak aku dengan segala keinginanmu, jangan kau kira aku menjadi penurut bagimu, aku hanya menikmati kelalaianmu dengan memberikan segala alasan pembenar segala tindakanmu!”
Sosok aku kedua, “Sungguh janganlah segala keinginanmu menjadikan adanya tabir bagi kerjasama kita dalam meraih kemuliaan yang telah digariskan kepada kita, engkau seringkali keras berkuasa atas ia, bahkan tak jarang engkau merendahkan dirimu dengan merengek kepadanya untuk membela keinginanmu akan sesuatu, padahal engkau sadar itu sebuah kebodohan bagimu dengan mengingkari dalil-dalil yang nyata dihadapanmu, sedang engkau tahu ayat-ayat-Nya terhampar luas bagimu, tertulis maupun tidak tertulis. Kau sering mengajak ia menfasirkan segala sesuatu sekehendakmu, seakan kau berhak merubah larikan ayat-ayat-Nya.”
Aku, “Ya… ya… aku mulai ingat siapa kalian, aku adalah kalian ini, atau kalian adalah aku, atau… Begini..! (sambil kutunjukan jari telunjuku, secara bergantian pada diriku, sosok aku yang pertama, sosok aku yang kedua) aku, aku, dan aku jadi AKU? Kalau betul begitu, aku kembali bertanya pada aku (kutunjukan jariku pada sosok aku yang kedua), kenapa engkau tak mencoba mencegahnya bersekongkol denganku? Dan kau biarkan aku menjadi sangat tak terkendali oleh aku dan aku atau kalian ini?”
Sosok aku kedua, “Ya mungkin kita bisa saling mengoreksi tentang hubungan kita selama ini, betul…, mungkin aku tak berdaya ketika kau berusaha memperalat ia (sambil menunjuk kepada sosok aku pertama), kau tak henti-hentinya menyanjungnya sebagai sandaran atas keinginanmu hingga ia pun lalai karenanya. Astaghfirullahal ‘adziim… Namun maaf beribu maaf, selama ini sangat jarang sekali kita berkomunikasi, aku sering menyapamu untuk saling menginagtakan diantara kita, namun aku mengira engkau begitu merasa mampu atas konsep AKU ini .”
Sosok aku pertama, “Baiklah, mungkin aku juga seharusnya mampu menjadi bagian dari kita ini, bolehkah aku meminta kepadamu?” (sambil mengharahkan pandangan kepadaku, lalu ia melanjutkan perkataannya). Aku memang salah sungguh aku di firmankan sebagai salah satu piranti pada makhluk yang kita kenal sebagai AKU selama ini, namun sungguh aku menjadi tak berdaya guna ketika peranku, hanya sebatas menjadi pembenar saja, selama ini aku merasa tidak pernah diajak untuk berkontamplasi denganmu (menunjuk kerahku), bahkan semakin kau jauhkan hubunganku dengannya (sambil mengarahakan pandangan kepada sosok aku kedua). Padahal dia merupakan salah satu piranti, yang diibaratkan sebuah charger bagi kita berdua. Kau bikin ia sebagi kamuflase ketika engkau lemah bukan?”
Bergetar aku saat itu seakan aku merasa baru mengenaliku, setelah melewati perjalanan masa yang menurut manusia dikenal dengan kata dewasa, namun, kali ini seakan aku terlahir dalam bentuk yang sama sekali baru… Air matapun mulai menitik deras, merasa menjadi sebuah konsepsi yang gagal.
Aku, “Subhanallah… Sungguh aku merasa tak kuasa atas diriku selama ini! Aku seakan telah merasa begitu paham konsep AKU, namun sebenarnya selama ini aku sama sekali tak mengenalku, ijinkan aku memperbaikinya, ijinkan aku….. Ya Rabb, begitu besar Kuasa-Mu atas segala hal…! Begitu besar Kuasa-MU atas segala hal! Tiada daya dan kuasa yang menanding-Mu…!
Saat itu Sosok aku pertama dan kedua beranjak dari kursinya dan mengecup ubun-ubunku bergantian. Seraya berkata, “Semoga Allah merahmatiku, dan menetapkan pentunjuk yang lurus bagiku…” aku hanya pun lirih menjawab, “Amiin, amiin ya Rabbal’alamiin…”
Sekejap saja aku tersadar, bahwa aku telah berada pada diemnsi ruang dan wakltu yang aku kenal selama ini, ya! Aku telah kemabali dikamar yang aku buat sebagai “ruang isolasi”ku. Terdengar suara adazan Hayya ‘alash sholah 2X… Hayya ‘alal falah 2X…Allahu Akbar 2X… Laa ilaaha ilallah… dalam tangis lirih nuraniku berkata “Ya Rabb ampuni aku ini, yang telah angkuh, jangan Kau palingkan Wajah-Mu terhadpaku yang hina dan lemah ini…, dan akalku mengajaku beranjak untuk bangkit dari tempat tidur untuk bersuci menyambut seruan-Nya. Namun, anehya akupun merasa enggan setelah sayup kata-kata kenagkuhan berhembus padaku, sura bisikan itu aku mengenalnya, ya aku kenal pasti, suara tersebut dari sesosok bayangan yang disudut dimensi yag baru saja aku singgahi, lalu segera akalku “seakan berkata, ingat ada yang lebih kuasa atas dirimu, tanyakan itu pada nuranimu!” tanpa ragu aku pun bergegas bangkit, aku mandi, wudlu, lalu sholat.
Saat aku berniat dalam hati untuk menghadapkan diri ini, ada perasaan tak layak aku menghadap-Nya seakan hina-dinya pribadi ini, namun, hatiku berkata, “jangan kau ragu atas begitu besar cinta-Nya…,” lalu akalku beseru, “cepat angkat tanganmu! Bertakbilah!Bertakbirlah! Serahkan dirimu yang lemah terhadap kuasa-Nya!” aku angkat tanganku semantap mungkin, kurapatkan emapat jariku, kecuali ibu jariku yag ujungnya kusentuhkan pada telingaku, Allahu Akbar!........................ Diujung do’aku,” Yaa Rabbana… kuatkan aku yang lemah ini, ampuni aku yang hina karena kebodohan dan keangkuhan ini, ijinkan aku berangkat dijalan-Mu, agar aku mampu persembahkan raga dan jiwaku…

Baca Selanjut...

Jumat, Agustus 17, 2007

Meretas Idiologi Gerakan dalam Wilayah Publik

Dari keseluruhan konsep ilmu sosial ideologi adalah konsep yang paling kabur. Hal itu disebabkan karena ia mempersoalkan dasar dan validitas gagasan paling fundamental yang kita miliki. Pada dasarnya ia masih merupakan konsep yang diperdebatkan, yaitu konsep tentang definisi (dan karenanya juga tentang aplikasi) dari sesuatu yang mengalami kontroversi akut. (W.B. Gallie, dalam David McLellan, 2005)

Bila Francis Fukuyama mengatakan peradaban sekarang lebih merupakan gambaran akhir sebuah sejarah bagi pertentangan blok kapitalisme dan blok marxis. Dimana sejarah kehidupan bangsa-bangsa yang ada di dunia saat ini lebih dominan diwarnai kekuatan blok kapitalisme. Hal tersebut bisa kita lihat dari varibel-varibel yang ada hampir di sebagian besar negara di dunia saat ini. Dari tatanan politik hingga tatanan ekonomi adalah merupakan asupan dari blok kapitalisme. Adanya sebuah konsep pemerintahan yang menganut prinsip-prinsip demokrasi liberal, sistem ekonomi global yang cenderung diwarnai oleh ekonomi liberal, mendorong peradaban manusia secara tidak sadar menerima tatanan pergaulan yang digambarkan oleh Anthony Giddens sebagai sebuah truk besar yang berjalan tanpa kendali.

Kekuatan pasar menjadi “title” yang coba ditanamkan di alam bawah sadar manusia dalam peri kehidupan yang berlandaskan pada prinsip penumpukan kapital—kapitalisme. Kekuatan pasar merupakan kekuatan yang menggejala, kehadirannya bisa sangat ditakuti, dicurigai, namun sekaligus dibutuhkan. Sehingga kekuatannya mampu hadir tanpa melewati ruang kritis di banyak negara dan pemerintah. Pengaruh pasar menjadi semakin besar ketika arus globalisasi bergerak cepat dan semakin intensif yang dikampanyekan oleh negara-negara maju pendukung kubu kapitalisme dengan Amerika Serikat sebagai lokomotifnya. Dengan piranti lunak—berbagai konsep teoritis, perusahaan transnasional, gaya hidup, dan penemuan-penemuan tekhnologi—maupun piranti kerasnya (militer dan ekonomi) mereka mampu merebut kekuasaan historis peradaban dunia.

Revolusi ongkos murah yang ditawarkan kubu pendukung kapitalisme atau qoruniyyah, sebenarnya juga tidak lepas dari sorotan kritis bagi kaum Muhammadiyah seperti yang terungkap dalam pernyataan pikiran Muhammadiyah jelang satu abad (Zhawaahir al Afkaar al Muhammadiyyah ‘Abra Qarn min al Zamaan) ( Lihat di Tanfidz Keputusan Mukatamar Muhammadiyah Ke-45, Malang 2005), pandangan kritis tersebut melihat bahwa gelombang Neo-Liberalisme dengan wajah globalisasi hanya menimbulkan bentuk ketidakadilan baru, terutama di negara-negara dunia ketiga (seperti halnya Indonesia), dimana terjadi kooperasi antara negara—dalam hal ini pemaknaan elite pemerintahan secara luas—dengan para pemilik modal, yang memunculkan kekuatan-kekuatan baru borjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhua’afaa) dan tertindas (mustadh’afin), karena Neo-liberalisasi dari para qoruniyyah ini memiliki kecenderungan terhadap egoisme (ta’bid al nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al mawaad), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al syahawaat), dan dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al siyasiyyah), bila tidak melewati ruang kritis berpeluang mengaburkan tujuan hakiki dari setiap muslim, yakni khazanah fid dunyaa wal akhiraah sebagai manifest terhadap ikrar meniadakan sandaran, sesembahan, maupun pengabdian pada sesuatu apapun kecuali Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Tafsir Surat Al Balad sebagai Pondasi Idiologi Gerakan IMM di Ranah Publik
Kritik saya melalui tulisan ini terhadap sistem pemerintahan demokrasi liberal yang banyak dipraktekkan negara-negara berkembang adalah kekuatan agregasi kepentingan yang bertumpu hanya pada elit yang berada dalam partai-partai politik, sehingga mengalienasi kepentingan grass root (dalam hal ini rakyat sebagai mayoritas). Terlebih di Indonesia saat ini betapa variabel-variabel demokrasi hanya akan bergerak pada saat Pemilihan Umum, setelah massa Pemilu berlalu rakyat kembali pada ruang-ruang ketidakpastian, karena mengalami tuna kuasa layaknya seorang yatim yang tidak memiliki wali untuk memperjuangkan, melindungi, dan mengayomi segala kepentingannya. Secara teoritis terbukanya aspirasi dari berbagai elemen dalam suatu bangsa seperti yang terungkap tulisan Robert A. Dahl dalam “On Democracy” tidaklah berlaku di negara-negara berkembang, fakta yang banyak terjadi pasca agenda rutin ketatanegaraan, yakni PEMILU, menujukan sebuah gejala anomali dari teori-teori demokrasi. Aspirasi rakyat banyak dinegasikan oleh kekuatan-kekuatan elit politik dalam lembaga yang diatur dalam konstitusi—bila di Indonesia fenomena tersebut bisa kita lihat dari konfigurasi partai-partai di DPR hingga DPRD, bahkan lebih menggelikan, bisa kita lihat dari penempatan-penempatan wakil kader-kader partai sesuai dengan kekuatannya, baik di lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif, bukan terhadap capability dari person-person yang ada.

Dari fenomena yang saya kritisi di atas, saya tertarik anilisis dari Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (2001) dalam mengajukan sebuah deskripsi betapa kekuatan dari organisasi masyarakat, paguyuban, atau kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) di banyak negara Barat, mampu memberikan kontribusi positif bagi penataan peradaban yang lebih progresif. Wacana yang ingin sampaikan adalah bagaimana IMM sebagai sebuah organisasi mampu membalikan sebuah mainstream saat ini. Sebagai salah satu laboratorium idiologi Muhammadiyah, IMM haruslah mampu menerjemahkan pendialogkan wilayah epistemologi dengan wilayah metodologi agar munculah sebuah aksiologi yang tepat bagi peradaban ummat di wilayah NKRI. Sebuah gerakan independen—radikal harus lahir dari salah satu anak panah Sang Surya sebagai kekuatan penyeimbang ditengah kejumudan gerakan dakwah amar makruf nahiy munkar yang menurut saya terjebak pada ta’dib al siyasiyyah sehingga yang muncul adalah egoisme jamiyyah semata yang kering dari semangat mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Kader-kader IMM sebagai salah satu elemen kekuatan Muslim dari kalangan pemuda Persyarikatan Muhammadiyah harus mampu menjelma menjadi kader Bangsa hingga pantas pada tahap moksa menjadi kader Agama. Bukan terjebak menjadi kader kekuasaan semata, yang akhirnya lunturlah nilai-nilai hasil tempaan kawah candradimuka Persyarikatan, kekuatan untuk beramal secara materiil (raga, harta, serta intelektual) yang dibarengi kokohnya pondasi spiritul (ketundukan secara jiwa terhadap Allah Ta’ala) merupakan koridor gerak setiap kader.

Secara organisasi saat ini IMM harus tetap berada di jalur kultural dengan memainkan konsep high politics bukan menghimpitkan atau bahkan melebur dengan salah satu unsur kekuatan elit politik (partai politik), walaupun wacana tersebut tengah menggejala menjangkiti organ gerakan kepemudaan saat ini. Bukan berarti kita menjadi orang yang skeptis namun harus mampu menjadi sebuah jamiyyah yang siap menjalankan fungsi kontrol dan tempat Ijtihadi bagi penentuan sebuah gerak sejarah peradaban. Terlebih bila kita mengkaji kondisi saat ini jalur struktural yang secara teoritis menjadi sebuah harapan, malah tak ubahnya sebuah arena pembelajaran bagi kaum hiprokrit, seperti telah digambarkan pada surat al Munafiqun (Q.S. 63 : 1-6). Pengulangan sejarah despotisme kekuasaan sebetulnya telah di monumenkan dalam berbagai ayat Al Qur’an sebagai world view ummat manusia, salah satunya adalah surat al Balad (Q.S 90 : 1-20) yang saya ajukan saebagai salah satu pondasi Idilogi Gerakan IMM di Ranah Publik. Dalam Al Balad terkadung pokok-pokok : Manusia diciptakan Allah untuk berjuang menghadapi kesulitan; janganlah manusia terpedaya oleh kekuasaan dan harta benda yang banyak yang telah dibelanjakannya; beberapa peringatan kepada manusia atas beberapa nikmat yang telah diberikan Allah Swt. kepadanya dan bahwa Allah Swt. telah menunjukkan jalan-jalan yang akan menyampaikannya kepada kebahagiaan dan yang akan membawanya kepada kecelakaan. Dari ayat 1-9 kita bisa melihat sebuah peradaban Mekah pada saat itu, yang menurut penafsiran saya adalah contoh massa lalu peradaban yang memiliki corak yang sama dengan peradaban saat ini, kita mahfum betul penentangan terhadap Islam pada saat itu salah satunya bukan hanya, bahwa Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wassalam mengajarkan tentang pengenalan Asma Allah SWT. semata, namun bahwa Islam secara radikal melahirkan otokritik terhadap peradaban manusia yang liberatif-kapitalistik yang bercirikan pada empat penghambaan seperti analisa Kaum Muhammadiyah yang terlontar pada periode Muktamar di Malang. Pada ayat 10-16 merupakan arahan gerak yang harus diperjuangkan bagi peradaban yang bercorak liberatif-kapitalistik, yakni melakukan sebuah proses pemberdayaan ummat manusia untuk terlepas dari sifat ekplotatif antar manusia (homo homini lupus) dan memperbaiki taraf hidup—baik secara jasmani hingga ruhani. Serta menunjukan pada siapa perjuangan tersebut ditujukan, yakni pada orang-orang yang tuna kuasa (dlu’afa) dan terpinggirkan dari akses atas hak-hak mereka untuk menikmati kesejahteraan (mustadl’afin). Lalu pada ayat 17 adalah bagaimana cara memperkuat barisan dalam mengorganisir kekuatan dakwah, dan ayat 18-20 merupakan janji yang nyata bagi tiap-tiap golongan yang menempuh pada pada dua jalan yang dimaksud pada ayat 10. Wallahu ‘alam bish showab.


Baca Selanjut...